Rentan Terhadap Wabah Covid-19, Ini yang Harus Dilakukan Pondok Pesantren
Jakarta (10/8). Pondok pesantren (Ponpes) merupakan lembaga pendidikan yang unik. Ponpes tak hanya mencetak SDM berkualitas dari sisi kognitif namun juga karakter, dengan sosok kyai sebagai guru sekaligus panutan. Santrinya pun mulai dari puluhan hingga puluhan ribu. Pesantren juga dibiayai secara swadaya. Saat terjadi pandemi, posisi ponpes sangat rentan, tatanan yang sudah terbangun selama ratusan tahun bisa rusak dalam sekejap.
Hal itu mendorong DPP LDII menggelar webinar pada 10 Agustus 2020, dengan tema “Menjadi Pondok Pesantren Sehat pada Era Pandemi Covid-19”. Acara ini menghadirkan Kasubdit Pendidikan Pesantren Kementerian Agama Dr. H. Basnang Said. S.AG, M.Ag, Kepala Bidang Pencegahan, Mitigasi, dan Kesiapsiagaan, Pusat Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Dr. Ina Agustina Isturini, MKM. Keduanya mewakili lembaga pemerintah.
Sementara dari institusi ponpes diwakili Ketua Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama yang juga staf khusus Presiden bidang Keagamaan, KH. Abdul Ghafar Rozin dan dr. Dani Pramudya, Sp.EM, Satgas Covid-19 LDII selaku Koordinator Tim Kesehatan Ponpes Minhajurrosyidin. Webinar ini juga menghadirkan peneliti pandemi dr Griffith University Australia, dr. Dicky Budiman, M.Sc, PH. PhD (Can). Tampil sebagai moderator Redaktur Republika Online (ROL) Nashih Nasrullah.
Dalam sambutannya, Ketua DPP LDII Ir. H. Chriswanto Santoso, M.Sc, mengatakan acara tersebut diikuti oleh 337 pribadi dan lembaga yang mewakili pondok pesantren, pondok pesantren pelajar dan mahasiswa (PPPM), boarding school, Satgas Covid-19 LDII, serta beberapa Satuan Pendidikan Diniyah Formal (PDF). Peserta tersebar di Indonesia hingga mancanegara.
“Menurut para ahli, pandemi ini belum dapat berhenti dalam waktu dekat dan menjadi keprihatinan bersama yang perlu antisipasi. Melalui seminar online ini, diharapkan narasumber bisa saling berbagi gagasan bagaimana mengelola pondok pesantren agar memiliki standar protokol kesehatan yang jelas,” ujar Chriswanto Santoso saat pembukaan acara.
Penyebaran Covid-19 juga perlu diantisipasi karena Kementerian Agama telah mengizinkan 8.085 pesantren untuk beraoperasi kembali dan menerima santri, “Sistem pendidikan pondok pesantren tidak bisa disamakan dengan sekolah umum, harus ada interaksi bersama antara kyai dan santri, santri dan santri, atau pembimbingnya. Karakter pondok itu yang menjadi tantangan bagi pondok menghadapi pandemi covid-19,” ujar Chriswanto. Pondok pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu kauniyah saja, namun juga merupakan tempat pembinaan karakter dan mental dengan penerapan pada kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, jangan sampai Covid-19 itu mengakibatkan pembinaan SDM umat Islam di pesantren-pesantren terhenti, “Ini yang perlu diantisipasi agar kegiatan belajar mengajar terus berjalan. Umat Islam harus menemukan cara agar kegiatan ponpes terus berjalan. Dan para kyai, guru, dan para santri bisa terus belajar dengan aman, nyaman, dan terjaga kesehatannya,” kata Chriswanto.
Harapannya, webinar yang dihelat DPP LDII memunculkan langkah-langkah yang bisa diadopsi untuk mengantisipasi penyebaran wabah virus Covid-19, pada pondok pesantren di seluruh tanah air. Panduan-panduan yang dikemukakan oleh para narasumber agar menjadi evaluasi dan dijadikan solusi terbaik bagi pengelola pondok, pengurus, serta pembimbing santri untuk mewujudkan pondok pesantren yang sehat bagi santri.
Sejalan dengan hal itu, narasumber Basnang Said dari Dirjen Pendidikan Islam, Kemenag mengatakan, meskipun sudah ada perizinan langsung dari Menteri Agama Fachrul Razi, ponpes tetap menghadapi masa adaptasi dan penyesuaian pola hidup pada masa pandemi covid-19 ini, “Untuk itu pesantren-pesantren yang terdaftar dalam data Kemenag akan memperoleh bantuan dari pemerintah sebesar Rp2,5 triliun,” ujar Basnang.
Rincian bantuan tersebut yakni berupa bantuan operasional kepada pesantren, baik sebagai penyelenggara pendidikan atau sebagai satuan pendidikan, bantuan pembelajaran secara daring, insentif bagi tenaga pengajar dan pendidik di lingkungan pesantren, serta dukungan pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan sarana dan prasarana untuk memenuhi protokol kesehatan. “Kemenag tidak bekerja sendiri, tapi juga bekerja sama dengan Kementerian PUPR, Kemensos, Kementerian Desa, dan Gugus Tugas Covid-19, serta Pemerintah Daerah,” ujar Basnang.
Pelaksanaan program tersebut tentunya menyesuaikan situasi dan kondisi yang terjadi di setiap pondok pesantren. Basnang mengatakan agar ponpes secara internal bekerjasama dengan aparat kesehatan dan gugus tugas covid-19 di sekitarnya.
*Tak Satupun Daerah Bebas Virus*
Peneliti Pandemi dari Griffith University, Queensland, Australia Dr. Dicky Budiman, M.Sc., PH., Ph.D (Can) menjelaskan bahwa sumber utama wabah penyakit berasal dari perilaku manusia itu sendiri, sehingga kunci utama pengendalian pandemi Covid-19 adalah juga dari perilaku.
“Kita memiliki peran besar, perilaku berkontribusi 80 persen untuk mengendalikan kurva pandemi, maka program pemerintah seperti 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan menggunakan sabun menjadi kunci pengendalian pandemi. Sekali lagi, setiap kita berperan dan bisa menjadi agen perubahan,” papar Dicky.
Pandemi dapat muncul disebabkan beberapa hal, di antaranya adalah zoonosis, faktor iklim dan faktor lingkungan. “Zoonosis banyak menjadi penyebab wabah mematikan. Mengendalikan vektor hewan seperti nyamuk yang menyebabkan demam berdarah, termasuk tikus dan kelelawar dapat menjadi upaya pencegahan efektif terjadinya wabah,” jelas Dicky dalam webinar DPP LDII dengan tema “Menjadi Pondok Pesantren Sehat pada Era Pandemi Covid-19” pada Senin, 10 Agustus 2020.
Hal lain yang perlu dipahami adalah perubahan iklim, yang berkontribusi terhadap penyebaran pola penyakit. Manusia harus bersikap ramah terhadap lingkungan, hemat, air, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak menebang hutan secara serampangan.
Covid-19 merupakan jenis virus baru bagi manusia. “Awal-awal ada yang mengatakan ini akan selesai dalam waktu singkat. Sekali lagi berbahaya, tidak boleh orang yang tidak memiliki dasar keilmuan, tapi berani membuat pernyataan, itu sangat berbahaya. Dalam ilmu kesehatan sangat berbahaya,” imbau Dicky.
Virus baru ini membuat manusia belum memiliki kekebalan, sehingga potensi terinfeksi sangat besar. Penyakit ini bisa menyebabkan kesakitan dan kematian. Virus ini bisa menyebar, jika dibandingkan dengan SARS, Covid-19 baru tujuh bulan, telah menimbulkan 19,8 juta kasus dengan total kematian 729.608, sedangkan SARS dalam 14 bulan menimbulkan 8.000 kasus dengan total kematian 800 kasus. Hal ini membuat Covid-19 jelas sebagai virus yang mewabah secara global.
*Umat Manusia Belum Siap Hadapi Covid-19*
Rentang waktu setiap 100 tahun terjadi dalam sejarah manusia wabah yang melibatkan banyak korban, saat ini yang kita alami Covid-19. Sebelumnya, 100 tahun yang lalu dunia menghadapi flu Spanyol, termasuk bangsa Indonesia. “Indonesia mengalami dua gelombang pada flu Spanyol ini. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada daerah yang kebal terhadap pandemi,” ujar Dicky.
Sejarah singkat wabah dunia, dari berbagai penyakit yang terjadi pada manusia, pertama kali yang serius menjadi ancaman adalah penyakit disebabkan bakteri, sebelum ditemukannya antibiotik. Saat Rasulullah masih hidup, ada wabah Justinian, pada saat itu yang menjadi korban total di dunia 50 juta orang. Biasanya periode wabah pada zaman dahulu dengan belum ditemukannya obat bisa mencapai 3-10 tahun. HIV misalnya, juga wabah pandemi yang sulit dikendalikan, dalam rentang waktu 30 tahun terakhir telah menelan korban 35 juta orang.
Saat ini umat manusia menghadapi pandemi Covid-19, saat umat manusia belum siap. Dampak Covid-19 sangat kompleks, sangat luas. Ternyata satu aspek saja dari kesehatan yang sifatnya mengglobal bisa meluluhlantakkan semua sektor. Untuk itu, investasi kesehatan digelontorkan sedemikian besar di negara maju. “Jadi pembelajaran kita, kesehatan sangat penting,” tegas Dicky.
Semua orang berisiko terdampak pandemi Covid-19, tidak ada risiko nol persen. Utamanya orang dengan usia lanjut dan memiliki riwayat penyakit komorbid (penyakit penyerta) memiliki risiko tinggi, sehingga sangat diwajibkan melakukan ikhtiar pencegahan infeksi Covid-19. Riset terkini, dampak Covid-19 terhadap organ tubuh semakin luas, tidak hanya pada saluran nafas tapi juga berdampak dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Laporan terkini WHO, sedang dibangun 139 vaksin Covid-19, dan sedang diuji coba pada manusia 26 jenis vaksin. “Perlu dipahami bahwa vaksin tidak selalu cepat dan mudah ditemukan, maka jangan hanya berpandangan bahwa obat adalah vaksin, tetapi upaya pencegahan juga dapat disebut sebagai obat,” jelas Dicky.
Peran kita adalah dengan melakukan adaptasi pola kebiasaan baru. “Kita harus hidup lebih sehat, menjaga keseimbangan lingkungan dan mahluk hidup agar kita tidak merusak alam dan akhirnya dapat meminimalisir terjadinya pandemi,” ujar Dicky. Kebiasaan baru dapat dimulai dari diri sendiri dan keluarga di rumah, fasilitas pendidikan, fasilitas perkantoran, fasilitas umum dan fasilitas kesehatan.
*Syarat Pelaksanaan Pendidikan di Ponpes Saat Wabah*
Pada kesempatan yang sama, Ina Agustina Isturini mengatakan jumlah pesantren yang mencapai 28 ribu dengan total warga pesantren lebih dari 20 juta jiwa merupakan sumber daya yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Menurutnya, ponpes harus mengantisipasi penyebaran wabah dengan menerapkan protokol kesehatan. Menurut Ina, penerapan protokol kesehatan di Ponpes dilakukan dengan dasar hukum dan panduan SKB empat Menteri (Mendikbud, Menag, Menkes dan Mendagri). Saat ini, zona kuning dan hijau dapat menerapkan proses pembelajaran tatap muka di sekolah/madrasah. Syarat yang harus dipenuhi adalah mendapatkan perizinan dari Pemda atau Kanwil Kemenag setempat, memenuhi semua daftar periksa berisi kesiapan menerapkan protokol kesehatan terakhir orang tua harus setuju penerapan pembelajaran tatap muka.
Madrasah dan sekolah yang berada di zona hijau dan kuning, penerapan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka dilakukan secara bertahap. Bagi sekolah/madrasah dengan kapasitas asrama di bawah atau sama dengan 100 peserta didik berlaku masa transisi (dua bulan pertama), bulan ke-1 50% dan bulan ke-2 100%. Madrasah/sekolah dengan kapasitas asrama di atas 100 peserta didik menerapkan masa transisi bulan ke-1 25%, bulan ke-2 50%, bulan ke-3 75% dan bulan ke-4 100%.
Protokol kesehatan tatap muka sebagai berikut: 1) Jaga jarak peserta didik dalam ruang kelas 1,5 meter, maksimal peserta 18 orang untuk pendidikan dasar pendidikan dan menengah, maksimal peserta 5 orang untuk pendidikan sekolah luar biasa (SLB) dan pendidikan anak usia dini (PAUD); 2) Menerapkan 3M, yaitu tidak lupa pakai masker, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, dan tetap jaga jarak minimal 1,5 meter; 3) Kondisi medis sehat, tidak ada gejala Covid-19 dan komorbid (penyakit penyerta) terkontrol; 4) Kantin boleh beroperasi setelah dua bulan masa transisi dengan menerapkan protokol kesehatan; 5) Olah raga diperbolehkan setelah dua bulan masa transisi; 6) Kegiatan diluar belajar mengajar seperti pengenalan lingkungan sekolah dan pertemuan orang tua setelah dua bulan masa transisi.
Ponpes dapat melaksanakan proses KBM dengan syarat: 1) Membentuk gugus tugas percepatan penanganan Covid-19; 2) Memiliki fasilitas yang memenuhi protokol kesehatan; 3) Surat keterangan aman Covid-19 dari Satgas Covid daerah/Pemda; 4) Pimpinan, pengelola, pendidik, dan peserta didik sehat dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari fasilitas pelayanan kesehatan; dan 5) Berkoordinasi dengan Gugus Tugas/Satgas Covid daerah dan Dinas Kesehatan setempat.
Kegiatan rutin harian dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19 dilakukan dengan kegiatan: 1) Ponpes melakukan kebersihan ruangan dan lingkungan secara berkala dengan desinfektan terutama pada area yang sering digunakan bersama; 2) Menyediakan sarana cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir/hand sanitizer; 3) Memasang pesan-pesan kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 di tempat yang strategis; 4) Membudayakan 3M dan etika batuk/bersin yang benar; 5) Bagi warga Ponpes yang tidak sehat/riwayat perjalanan ke daerah terjangkit dalam 14 hari; 6) Tidak menggunakan peralatan bersama-sama; 7) Melakukan kegiatan meningkatkan daya tahan tubuh; 8) Pemeriksaan kesehatan minimal 1 minggu sekali; 9) Menyediakan ruang isolasi yang terpisah dengan kegiatan pembelajaran; 10) Melakukan ibadah ritual keagamaan dengan protokol kesehatan; 11) Dapur umum diperhatian kesehatan dan kebersihannya; 12) Menjaga kualitas udara dengan mengoptimalkan sirkulasi udara dan sinar matahari serta melakukan pembersihan filter AC; 13) Sebelum masuk kelas setiap santri diperiksa suhu tubuhnya; 14) Tamu harus dibatasi, yang diperbolehkan orang tua atau saudara kandung yang benar-benar mendesak untuk bertemu.
*Covid-19 Menuntut Kenaikan Anggaran Pendidikan*
KH. Abdul Ghoffar Rozin, Ketua Pusat RMI Nadhlatul Ulama mengatakan, pesantren dari sisi layanan pendidikan yang cukup besar, masih menunjukkan sikap yang berbeda-beda dalam tantangan pandemi covid-19, “Para pemegang kebijakan mengatakan bahwa yang terkena pandemi hanya dari aspek kesehatan tapi ternyata tidak hanya demikian, berimbas juga aspek pendidikan,” ujarnya.
Ia menyontohkan, ponpes yang mengalami masa vakum yang panjang menciptakan kegelisahan kolektif dari pihak terkait, termasuk tradisi pesantren. Menurutnya, para pedagang yang ada di sekitar pesantren, dan menggantungkan hidupnya pada belanja para santri mengakibatkan perekonomian di sekitar pesantren melemah.
Dari pengalaman tersebut, Gus Rozin meminta pemerintah untuk memprioritaskan belanja kesehatan. Dengan meningkatkatnya belanja kesehatan, pesantren bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah terkait wabah Covid-19. Menurutnya pengetahuan dan praktek protokol kesehatan di tiap pesantren berbeda-beda, untuk pemerintah harus turun melakukan sosialisasi, “Tidak semua pesantren memiliki satgas untuk Covid-19, tidak semua juga bisa melaksanakan protokol kesehatan, tidak semua ponpes juga bisa melaksanakan semua hal itu karena terbatas biaya,” ujarnya.
Rozin mengatakan lebih lanjut, pihaknya kini mendorong pemerintah untuk memperlihatkan kebijakan yang konkrit bagi pesantren. “Setidaknya harapan kami sekitar Rp 8-10 triliun yang bisa dialokasikan ke pendidikan Islam. Mengingat anggaran yang dikeluarkan masih jauh dari cukup, pemerintah perlu mengupayakan langkah lanjutan,” katanya.
Ponpes kini perlu mengembangkan belajar jarak jauh secara online, meskipun terkendala misalnya sinyal, perangkat, dan software. Sementara itu proses belajar offline di pesantren juga pastinya akan berubah, dan itu membutuhkan proses yang panjang.
Sementara itu Dani Pramudya, Satgas Covid-19 DPP LDII yang hadir sebagai narasumber pada webinar menegaskan, pondok pesantren perlu membuat aturan protokol kesehatan terkait pembatasan sosial antar warga pondok. Bagi santri yang telah pulang ke rumah misalnya, tidak diperkenankan kembali ke pondok sampai situasi memungkinkan atau santri tersebut memiliki surat yang menyatakan sehat dari rumah sakit ataupun Puskesmas.
Di pondok pesantren seperti Minhajurrosyidin contohnya, Dani mengatakan sudah ada penyediaan ruang isolasi mandiri bagi yang kesehatannya terganggu. Ruang ini pun sudah dicek oleh pihak puskesmas atau Satgas Covid-19 setempat mengenai kelayakannya dan dipastikan bisa sebagai ruang isolasi. Selain itu disediakan pula ruang simulasi bagi warga pondok pesantren yang reaktif covid-19.
Dani berharap agar bantuan pemerintah kepada pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia bisa segera diupayakan, seperti alat ukur mandiri dan alat pelindung diri yang memadai dan memenuhi standar bagi petugas internal ponpes.
“Standar kebersihan pesantren mutlak dilaksanakan. Jika ada yang mengatakan bahwa alat ukur panas seperti thermo gun berbahaya, dipastikan itu hoax karena alat yang digunakan sudah teruji klinis oleh badan kesehatan,” kata Dani mengakhiri.