Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama. Kemudian diciptakan-Nya Hawa sebagai jodohnya dengan maksud agar Adam merasa tenteram hidupnya. Demikianlah yang tersirat dalam Al Quran surah Al A’raf ayat 189. Jadi, menikah itu sudah disyariatkan sejak jaman Nabi Adam.
Rasulullah Nabi Muhammad SAW menyabdakan tentang kehidupan dirinya: “Aku di malam hari bertahajud tapi juga tidur. Di siang hari kadang berpuasa, kadang juga tidak puasa. Dan aku pun menikah. Barangsiapa yang benci pada sunnahku maka dia bukan golonganku”. (HR Muslim). Selanjutnya beliau menganjurkan: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan untuk menikah maka menikahlah. Menikah itu dapat lebih mengendalikan pandangan dan mencegah pelanggaran syahwat”. (HR Al Bukhari).
Hikmah selanjutnya dari menikah adalah membawa rejeki. Sebagaimana janji Allah: “Nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kalian, baik laki-laki maupun perempuan. Kalau mereka dalam keadaan fakir, Allah akan memberi mereka kecukupan”. (QS An Nuur 32). Sebagaimana Rasulullah SAW menyabdakan: “Nikahlah kalian karena isteri itu bisa mendatangkan rejeki”. (HR Al Hakim). Orang yang sudah menikah biasanya lebih bisa mengatur keuangannya. Ketika masih lajang gajinya habis untuk sendiri. Tapi setelah punya isteri jadi cukup untuk berdua, malah masih bisa menabung. Begitulah kalau Allah memberi rejeki.
Bila seseorang meninggal dunia maka putuslah semua amalannya. Karena dia sudah tidak bisa lagi shalat, puasa, maupun ibadah yang lain. Tapi ada tiga hal yang bisa tetap mengalirkan pahala meskipun yang bersangkutan sudah terbujur di alam kubur, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakannya. (HR Abu Dawud). Sedangkan anak yang shalih hanya bisa dimiliki oleh orang yang sudah menikah.
Orang yang menikah juga akan mendapat pahala yang lebih banyak. Karena apa yang dia berikan untuk anak isterinya berupa sandang pangan maupun papan akan bernilai sedekah di sisi Allah. Sampai-sampai hubungan badan dengan isterinya pun bisa menjadi pahala. Begitulah yang disabdakan oleh Rasulullah. Maka para sahabat bertanya: “Apakah betul, ya Rasulullah, bahwa orang melampiaskan syahwatnya kepada isterinya bisa menjadi pahala?” Rasulullah menjawab: “Bukankah kalau dia menyalurkannya kepada selain isterinya akan menjadi dosa? Berarti kalau dia menyalurkannya kepada isterinya tak pelak akan menjadi pahala”. (HR Muslim). (*)
Oleh: H Aceng Karimullah